Sunday, August 8, 2010

Beijing 5: be careful with your wish!

Sejak awal saya dan teman saya merencanakan perjalanan ke Beijing dan Hanoi ini, kami tidak begitu tertarik dengan ide mengikuti paket tour yang bertebaran disediakan travel agent, yang tentunya akan sangat membuat hidup menjadi lebih mudah!

Kami tertarik untuk menikmati setiap pengalaman dari perjalanan tersebut walaupun sering mesti “berakrobat” dengan urusan transportasi, komunikasi dengan penduduk lokat, tersesat, dan lain-lain. Namun justru hal-hal tersebutlah yang kami percaya menambah kaya pengalaman kami. Menikmati bagaimana adrenalin terpompa saat tersesat dan tidak ada orang-orang yang mengerti bahasa Inggris, tertawa sendiri saat menyadari bahwa kami salah naik kereta atau salah mengambil pilihan makanan yang kurang enak.

Be careful with your wish. Itulah terjadi dengan kami di hari terakhir kami di Beijing. Mengharapkan suatu liburan yang ‘kaya akan pengalaman’ dengan perjuangan sendiri, kami menghadapi satu kejadian yang sangat….sangat… menguras emosi dan juga fisik tubuh kami. Kejadian ini terjadi tepat di hari kepulangan kami dari Beijing menuju Kuala Lumpur.

Tepat jam 1 siang, dengan subway kami menuju ke South Beijing Railway Station untuk kemudian menuju Tianjin dengan bullet train. Rupanya proses kepulangan tidak semudah seperti kedatangan. Dengan stasiun sebesar itu dan terbatasnya papan petunjuk dengan huruf latin maupun orang-orang yang dapat berbahasa Inggris, kami cukup kelimpungan juga. Namun hal ini belum seberapa.

Modal kami selama di Beijing adalah tidak tahu malu, dalam arti kami tidak segan-segan untuk mencolek orang yang kelihatan bisa berbahasa Inggris untuk bertanya. Kami dengan pe-de nya mencolek seorang wanita yang (thanks God) bisa berbahasa Inggris. Ia membantu menanyakan ke petugas loket dimana tempat membeli tiket bullet train ke Tianjin (bayangkan, penduduk lokal nya pun tidak hapal isi dari stasiun tersebut, gimana kami)

Setelah mendapatkan tiket, kami bergegas mencari gate dari kereta tersebut. Perjalanan sekitar 30 menit itu kami isi dengan tidur! Kondisi fisik kami sudah lumayan lelah. Namun the nightmare is about to start!



Setibanya di stasiun Tianjin, kami harusnya menggunakan bus ke airport, namun setelah mencoba mengikuti arah papan petunjuk “Bus”, kami semakin bingung. Lorong tersebut berujung pada suatu terminal bis yang sangat kontras kondisinya dengan stasiun yang cukup mewah. Kami berjalan dan bertanya kepada penduduk sekitar “Excuse me, do you know where is the bus to the airport?”. Namun sekitar 40 orang yang kami tanyakan (masing-masing dari kami bertanya ke sekitar 20 orang), tidak ada satupun yang mengerti bahasa Inggris. Dengan backpack dan koper kami menyusuri terminal tersebut, bahkan sampai ke pelosok gudang kargo. Rasa panik, lelah dan kesal cukup menguasai emosi kami saat itu. Namun kami sadar, bagaimanapun caranya kami harus ketemu dengan bis airport tersebut.

Kemudian kami mencoba masuk ke dalam satu gedung yang cukup "manusiawi" dengan tulisan “Entrance”. Kondisi di pintu masuk cukup padat dan semerawut dengan orang-orang yang berjejal ingin masuk melalui pintu masuk yang kecil. Kami melihat beberapa turis bule mengantri. Seperti biasa, di setiap pintu masuk selalu ada mesin pemeriksa x-ray. Saya sepakat dengan teman saya bahwa saya yang akan memasukkan tas ke dalam mesin tersebut, dan teman saya yang akan menjaga di sisi sebaliknya. Kondisi cukup kacau. Ketika saya mengantri, saya melihat seorang ibu di depan saya hendak memasukkan handbag ke dalam mesin dan sang suami menarik sambil memarahi. Namun telat untuk saya menyadari bahwa saya tidak seharusnya memasukkan tas kecil saya yang berisi passport dan tiket dan satu lagi tas kecil kamera. Saya langsung panik dan berteriak ke teman saya untuk segera menarik semua tas. Hal pertama yang saya cari adalah tas merah saya yang berisi paspor dan setelah itu tas kamera saya. Namun tas kamera saya sudah raib!!

Saya panik dan bertanya pada petugas yang berjaga di depan monitor, namun ia hanya menggelengkan kepala, cuek. Saya dan teman saya mencari hingga ke kolong mesin dan belt namun tidak juga ketemu. Di tengah semua itu, kami cukup menjadi bahan tontonan orang-orang karena adegan "mengolong" dan panik tersebut. Kami tidak peduli.

Bukan kamera yang saya sayangkan, namun semua foto-foto yang ada didalamnya. Tambah kesal lagi ketika tahu dari petugas bahwa kami memasuki gedung yang salah! Dengan perasaan gemas, marah, panik bercampur lelah, teman saya setengah berteriak dengan nada tinggi, yang mengundang perhatiaan beberapa orang. Tapi kami sekali lagi masa bodoh.

Kami kembali ke dalam stasiun dan bertanya kembali ke satu petugas yang lumayan bisa bahasa Inggris. Ia menunjukkan gedung yang sama! Kami harus masuk ke gedung tersebut dan naik ke lantai dua. Saya langsung lemas! Not again!!

Beberapa penduduk lokal mendatangi kami dan dari terjemahan petugas tersebut, mereka bersedia mengantar dengan bayaran. Petugas tersebut juga mengajari saya beberapa kalimat dalam mandarin untuk bertanya, namun teman saya langsung menarik tangan saya. “Elo diajarin cara nanya, emangnya elo ngerti ntar kalo orang ngejawab pertanyaan lo?” Hmm.. bener juga! Akhirnya dengan memberanikan diri, kami masuk lagi ke dalam gedung tersebut dan langsung menuju lantai dua. Namun tetap kami tidak menemukan tempat bus tersebut. Kami bertambah panik ketika jam terus bergerak dan jika tidak segera berangkat, maka kami sudah pasti akan ketinggalan pesawat.

Kami berjalan ke luar stasiun dan menemukan titik dimana kami turun dari bis pada saat kedatangan. Aha, bis nya ada!! Namun dengan supir yang sedang tidur! Aduh! Kalau dia bangun aja, pasti sudah cukup sulit untuk berkomunikasi, gimana ini kalau dia tidur?!

Saya memutuskan bertanya kepada sekelompok pria yang merupakan supir taksi yang sedang mangkal. Cukup alot percakapan saya karena kami berbicara dengan bahasa tarsan yang sangat sempurna. Ya! Karena untuk menggambarkan airport saya harus memperagakan dengan telapak tangan pesawat yang sedang terbang. Di tengah keputusasaan, saya melihat seorang pria yang hendak naik bus tersebut. ”Excuse me, do you speak English?” dan ketika orang itu menjawab ”Yes!”. Saya langsung bertanya ”does this bus go to the airport” dan dia menjawab ”Yes, exactly this one”. Saya sampai mengulang pertanyaan “are you sure?” hingga tiga kali, tidak peduli apakah orang itu menganggap saya tuli. Namun akhirnya "mas-mas" ini sangat baik. Ia menawarkan untuk sharing taksi karena jika menunggu bus berangkat maka saya dan teman saya dipastikan akan ketinggalan pesawat.

Di dalam perjalanan, ia bercerita kalau ia akan ke Guangzhou karena punya usaha di sana namun karena keluarganya tinggal di Beijing maka ia harus bolak balik setiap dua minggu. Ia juga bercerita pernah kuliah dan tinggal di Amerika. Hmmm..pantesan! Bahasa Inggrisnya lancar jali..

Setiba di airport, ia mengantarkan kami ke gerbang International Departure. Baiknyaaa… Setelah check-in dan memasukkan bagasi, kami duduk lemas selonjoran di kursi sambil menunggu gerbang imigrasi buka. Kami bersyukur sekali karena bisa sampai di airport tepat waktu, sembari merasa lemas kalau mengingat nasib kamera saya.

Pesawat menuju Kuala Lumpur tidak terlalu rame sehingga saya dan teman saya masing-masing bisa ”menguasai” tiga baris tempat duduk dan tidur terlentang. Namun 6 jam perjalanan tersebut dan suasana malam dan gelap dalam kabin tidak mampu membuat saya dan teman saya tertidur. Mungkin kami terlalu lelah dan masih cukup terhenyak dengan pengalaman yang baru saja terjadi.

Selamat tinggal, Beijing....sampai bertemu dua minggu lagi. (What??) Yeap! Saya harus kembali ke Beijing untuk urusan kantor kira-kira 10 hari dari tanggal kepulangan tersebut.

No comments: