Sunday, August 8, 2010

Beijing 2: Great Wall

Hari ke dua di Beijing adalah giliran saya dan teman saya untuk menyambangi Great Wall, salah satu icon keajaiban dunia yang membentang sepanjang lebih dari 8000 km di utara kota Beijing. Great Wall atau yang lebih dikenal dengan Tembok Cina ini dibangun pada saat pemerintahan dinasti Ming untuk melindungi China dari serbuan tentara Mongol.

Ada beberapa titik di sepanjang Great Wall yang menjadi starting point. Kami memilih Mutianyu dengan pertimbangan titik tersebut tidak seramai Badaling, yang lebih akrab di kalangan turis dan medannya pun sudah lebih ‘manusiawi’ untuk dilalui – sangat jauh berbeda dari titik lain, Jinshanling yang saya kunjungi dua minggu kemudian (cerita menyusul). Mutianyu di tempuh dalam waktu sekitar tiga jam-an dari Beijing, namun sebelumnya kami mengunjungi Ming Tomb atau makam 13raja dari dinasti Ming. Buat saya pribadi yang buta tentang arsitektur atau tidak terlalu tertarik dengan sejarah, tempat akhirnya mendapat nilai “good to visit”, bukan “must visit”.


Setelah menyantap makan siang di suatu restaurant tepat di kaki bukit Mutianyu, dimulailah perjalanan menuju ke atas. Great Wall ini berada di atas bukit (atau gunung ya?) yang bisa ditempuh dua cara: trekking alias jalan kaki atau menggunakan cable car. Tentu saja saya memilih yang kedua. Lebih baik menyelamatkan energi untuk “trekking” di sepanjang tembok cina daripada kehabisan napas sebelum tiba di puncak. Dengan membayar RMB 55 (sekitar Rp 60,000), saya naik cable car dengan perasaan yang agak deg-deg an melihat ketinggian yang cukup curam.

Setiba di atas, angin dingin menerpa wajah namun dengan segera tidak dirasakan melihat pemandangan yang luar biasa cantiknya. Tembok Cina yang membentang bak ular naga tanpa terlihat ujung kepala dan ekornya, merambat di titian bukit dengan gagahnya. Saya bersyukur juga karena angin yang dingin dan sejuk. Tak terbayangkan berjalan di ketinggian seperti itu dengan sinar matahari yang terik.

Pemandangan musim semi masih tersisa dengan hijaunya pohon-pohon menyatu dengan warna tembok menghasilkan perpaduan yang cantik: hijau daun segar dan natural stone.

Saya menyusuri 2.2 km dengan beberapa kali berhenti untuk berfoto atau sekedar menatap pemandangan yang luar biasa indahnya, disertai dengan hawa yang begitu sejuknya, tidak panas namun juga tidak dingin menggigit, walaupun sempat gerimis kecil namun untungnya hanya sesaat.

Perjalanan turun menawarkan dua alternatif, yaitu dengan toboggan atau lift chair (mirip kereta gantung yang sering digunakan para pemain ski waktu mendaki ke atas gunung). Keduanya merupakan pilihan yang sulit, tapi saya harus memilih. Akhirnya saya memilih toboggan dan membayar sekitar RMB55 (Rp 60,000). Toboggan adalah kereta luncur dengan jalur khusus dan memiliki satu tuas untuk mengeram atau memacu kecepatan. Jalur yang berliku dan terlihat mengerikan ternyata sangat mengasyikkan. Beberapa petugas ditempatkan di beberapa titik sepanjang rute turun untuk memastikan keamanan. Saya meluncur dengan disertai teriakan-teriakan girang ketika rute sangat curam atau melewati jembatan dengan jurang yang cukup curam.

Setibanya kembali di Beijing, sekitar jam 7 malam dan cuaca masih sangat terang (matahari seperti jam 4 sore di Jakarta) saya dan teman saya memutuskan untuk mampir ke Tiananment Square. Dari titik pemberhentian bus, kami berjalan sekitar 15-20 menit (dengan sedikit kesasar dan bertanya-tanya dengan orang sekitar, tentunya). Walaupun sudah tutup, di gerbang lapangan yang cukup terkenal karena sejarahnya tersebut, masih sangat banyak orang yang berkumpul, entah sekedar berfoto atau mengobrol.
Ada satu pengalaman yang cukup menegangkan di sini. Begitu kami tiba di depan gerbang, kami didatangi 3 orang gadis lokal yang mengaku sebagai mahasiswa yang sedang menghabiskan liburan. Mereka sangat fasih sekali berbahasa Inggris (sesuatu yang jarang sekali ditemui sepanjang saya di Beijing) dan sangat ramah. Mereka mengajak berkenalan dan menawarkan diri untuk membantu saya dan teman saya berfoto. Ketika kami mengajak mereka untuk berfoto bersama, mereka menolak karena kepercayaan dalam agama mereka yang melarang untuk berfoto. Kejanggalan pertama yang saya rasakan. Dua dari mereka mengajak saya ngobrol dan satu lagi menyertai teman saya. Mereka mengajak kami untuk bersama-sama ’nongkrong’ sambil minum kopi di daerah Hutong (daerah yang memang saya rencanakan untuk kunjungi). Kami pikir ”why not”.

Namun perasaan saya sudah sangat tidak enak. Di tengah perjalanan, saya putuskan untuk membatalkan rencana untuk ’kongkow’ bareng tersebut dan mengajak teman saya untuk kembali ke hotel. Ajakan yang langsung disetujui oleh teman saya karena ia pun merasakan perasaan tidak enak. Untungnya mereka tidak memaksa. Kami berpisah dan saya dan teman saya menuju ke daerah Wangfuijing untuk cari makan malam sekalian mencari souvenir, sambil memastikan bahwa mereka tidak mengikuti. Setelah kenyang makan di salah satu restauran khusus untuk muslim di Wangfuijing dan membeli beberapa souvenir, sekitar jam 10.30 malam kami kembali ke hotel di daerah Jianguomen dengan subway.

Setibanya di hotel dan baca-baca Lonely Planets, kami cukup kaget. Ternyata kegiatan para "mahasiswa" tersebut sangat umum dan diorganisir oleh satu sindikat yang bertujuan menipu para kaum turis dengan cara mengajak ke kedai kopi atau galeri senin untuk kemudian memeras mereka dengan sekian ribu Yuan. Kami langsung merasa lega, pheewww... emang kalau insting itu jangan pernah di remehkan :-)

No comments: