Thursday, March 25, 2010

Freezing days in Switzerland: Schaffhausen and Luzern

Perjalanan saya di negeri yang katanya salah satu negara paling mahal di dunia, Swiss, dimulai di suatu pagi yang masih bersalju - sehari setelah training kantor selesai. Dua orang temen dari Pakistan rupanya masih tidur sehingga alhasil saya memutuskan berangkat sendirian.


Tujuan pertama adalah Rheinfall, yang dari penulusuran internet, adalah air terjun terbesar (bukan tertinggi lho) di Eropa. Rheinfall terletak di kota Schaffhausen, kota di ujung utara Swiss yang berbatasan dengan Jerman.
Saya naik kereta menuju Zurich HB (hub banhoff = main station) dan tiba Schaffhausen sekitar 1 jam kemudian. Wah, begitu keluar stasiun, celinguk kanan-kiri, bingung. Saya putuskan jalan mengikuti arus orang-orang menuju pusat kota. Ngga juga ada tanda-tanda Rheinfal. Setelah bertanya, ternyata saya harus menuju satu kota kecil lagi dengan bus. Nama kotanya Neuhausen. Tidak jauh, cukup 5 menit dengan bus yang ’ngetem’ tepat di depan stasiun. Barulah setelah turun di halte (atas petunjuk bapak supirnya), bertebaranlah petunjuk jalan ke arah Rheinfal. Saya cukup takjub dengan Rheinfal yang dari jauh bunyi gemuruhnya sudah cukup memprovokasi siapapun yang mendengarnya merasa penasaran. Menurut data, Rheinfall mampu mengucurkan air dengan kekuatan 250-1250 meter kubik per detik!


Saya berjalan mengitari danau dengan air terjun di tengah-tengahnya. Oiya, Rheinfal bukan air terjun seperti umumnya yang menawarkan ketinggian. Si dahsyat ini tidak begitu tinggi (untuk ukuran air terjun) tapi arusnya cukup kuat dengan jeram yang membentang membelah danau – atau lebih tepatnya mungkin sungai Rhein yang lebar sekali.

Sayang karena mungkin cuaca yang sangat dingin, tidak banyak wisatawan yang datang. Menurut cerita biasanya ada boat yang mengangkut para turis untuk mendekat ke air terjunnya. Saya coba atasi dingin yang cukup menggigit dengan terus berjalan dan bergerak.

Setelah puas, saya kembali ke Schaffhausen dengan bis dan berjalan menuju tengah kota. Pusat kotanya ramai banget, mungkin karena weekend. Banyak orang-orang berjualan, anak-anak berlarian, para ABG yang ngobrol di pojok-pojok jalan maupun orang-orang yang cukup duduk dan menikmati pemandangan. Saya termasuk orang yang terakhir ini. Sinar matahari yang hangat menjadi salah satu barang ”termahal” selama saya di Swiss. Mencari posisi yang mendapat sinar matahari, saya menikmati suasana kota dengan burger dan kentang goreng di tangan. Nikmat!


Saya lanjutkan perjalanan ke kota berikutnya, Luzern. Kereta saya harus kembali ke Zurich HB dan ganti kereta ke Luzern. Dari Zurich ke Luzern kira-kira 45 menit. Tiba di stasiun, saya disambut kapal yang besaaar sekali yang sedang sandar di pinggir danau, tepat di depan stasiun. Tapi saya lebih tertarik ke tengah kota. Pastinya lebih banyak hal menarik dibandingkan kedinginan muter-muter danau yang hanya air dan air doang (belakangan saya tahu, teman saya yang dari Pakistan ternyata sempat menikmati ’tour de danau’ ini dan tidak se-exciting yang dibayangkan, untuuung... ngga jadi)


Tidak lama berjalan, membentanglah salah satu landmark kota Luzern, the Chapel Bridge. Chapel Bridge merupakan jembatan kayu tertua di Swiss yang dibangun tahun 1333 dan memiliki tower di tengah-tengahnya. Konon, tower segi delapan ini pernah digunakan sebagai penjara, kamar penyiksaan (wuih!) dan menara pengintai.

Sebenarnya saya pingin banget menikmati suasana pinggir danau (atau sungai ya?) dan teriakan burung pelikan yang riuh sekali. Tapi apa daya, dinginnya bener-bener amit-amit. Membuka sarung tangan aja cuma bisa bertahan 2 menit, selanjutnya telapak tangan terasa perih dan keriput karena dingin.

Setelah puas menikmati dan foto-foto, saya jalan ke arah pusat pertokoan yang saya assume itu downtown-nya Luzern. Dengan tipikal Eropa, toko-toko itu berjejer di suatu jalan setapak paving block yang tidak luas dengan gang-gang kecil yang tidak kalah menariknya. Saya mampir di beberapa kios cinderamata khas Swiss. Di salah satu toko, ketika saya sedang melihat-lihat, ada dua orang di belakang saya yang ngobrol cukup keras ”iya... katanya mie gorengnya cukup enak di situ..!!” saya cukup terhenyak. Orang Indonesia! Yaayy... rasanya seperti bertemu keluarga sekampung halaman. Norak yah... hihi...

Nah di kota ini pula, ada lagi satu cerita norak lainnya. Saya kesasar! Keenakan melihat-lihat dan terpesona dengan interior salah satu gereja, saya jalan seenak kaki saya melangkah, ngga mau pusing arahnya. Saya coba tanya arah ke beberapa penduduk, tapi mereka semua bicara bahasa jerman. Walah! Akhirnya saya duduk bengong kecapekan di sebuah halte bus. Mencoba keberuntungan, iseng-iseng saya tanya ke salah satu mbak-mbak bule hanya dengan satu kata ”bahnhoof??”. Daann.. yes, berhasil!! Walaupun dia bicara dengan bahasa tarzan, tapi cukup membantu saya menemukan arah ke stasiun (bahnhoof = stasiun kereta).

Pheww.. akhirnya sampailah di stasiun Luzern dan naik kereta kembali ke Baden, melalui Zurich. Sampai di Baden, sekitar jam 8 malam, saya putuskan langsung makan di salah satu resto Italia. Saya dengan pe-denya pesan Spaghetti Carbonara dan Rivella (minuman khas Swiss). Bayangan akan spaghetti yang bertaburan smoked beef, cheese dan fully creamy langsung buyar begitu saya lihat di tengah-tengahnya di taruh telur mentah lengkap dengan kuning telurnya. Langsung hilang selera makan. Telur mentah! Yakh! Totally yakh banget! Perasaan tadi di buku menunya ngga ada bilang tentang telur deh. Dengah menahan rasa eneg dan karena saking lapernya, saya pinggirin telurnya dan coba makan yang tidak ’terkontaminasi’ dengan telor itu.

Berakhirlah hari itu dengan ending yang lumayan bikin be-te (karena masih lapeerr...) tapi juga puas... dan senang membayangkan rencana perjalanan di 3 hari berikutnya yang jauh lebih breathtaking! yaayy....!! Next one will be about my journey to Interlaken, Jungfraujoch, Geneva, Montreaux before going back home...

Penopang jiwa itu...

Aku ingin bercerita dari hati
Dari hati yang sesungguhnya
Tanpa cemas akan cela

Aku rindu akan berbagi mimpi dan harapan
Tanpa kuatir akan kehilangannya

Aku rindu akan canda dan kemanjaan
Tanpa topeng yang menghalangi

Sebuah kelegaan dari kesesakan yang menghimpit
Sebuah kekuatan dari setiap hela nafas yang ada
Sebuah cahaya bagi jiwa yang berjalan

Aku rindu akan jiwaku yang dulu
Sebuah jiwa yang tanpa lelah dan takut untuk berkelana
Sebuah jiwa yang sebagian tak lagi kurasakan merekat saat ini

Sebagian jiwa yang telah tercabut dengan paksa dan entah kapan kembali

Aku rindu jiwaku itu...
Miss you, Pa....


always!


(August 31, 2008 - 11.35pm)

Monday, March 22, 2010

Geneva: Lost in translation...

(Geneva, March 2006)

It was one foggy Monday morning in Geneva with a cold breeze gently swept my face. I tightened up my scarf and jacket, to get a little bit warmer. The temperature showed 6 degree Celsius. I looked at the people around. Some rushed to catch the tram. Some comfortably sipped a hot chocolate at the café. Few were like me, standing in one of bus shelters with no clear destination to go.


I felt relieved to have grabbed a city map from the hotel, allowing me some brief information of some must-visit-places in the city. A half day trip to country side tempted me the most, but I couldn’t imagine walking at outdoor spots in such temperature nor could I afford to make a little shopping in one of the most expensive countries in the world. So I just let my feet decided where they would take me to.

I headed to downtown and ended up at a bridge of a big lake with a fascinating fountain in the northern side. I walked across the bridge, peacefully enjoying the view. Suddenly, a man approached me and then tried to walk next to me. I was so shocked. He smiled and tried to hand me a small box, like a soap box. I thought he must be a sales man, trying to sell something. I politely refused and said thanks with a smile but he kept on walking with me and tried again to offer me the box. He spoke few words in French that I did not understand. I smiled and said “no, thank you, sir”. He kept smiling at me but still insisted to give me the box. I started to feel scared and insecured. I was alone in a strange place, with the people who spoke language that I didn’t understand and now there was a man who persistently wanted me to accept the box from his hand. I rushed and was out of breath, but this man kept on following me in the same speed.

There were two choices that I could think about: screaming out loud for help or running as fast as I could. There must be some help I could get from the people around. Perhaps the police who stood only few meters away from me would help me or the group of big men with big motorcycles could throw this man away. But I chose none. Curiosity brought me to face him and then look at the box - the box he was persistently trying to give me. I was so surprised to find what the box was. Oh my God! It was a disposal camera!! He said “can you help with photo, please?” – in an accent that was difficult to catch.

I felt so extremely released. I offered my smile and gladly received the camera from his hand. “Sure! my pleasure”. I took some snaps of him and vise versa.

As we went along, I knew he was from Morocco and worked as a chef for a hotel in Paris. He took few days off from his work to enjoy Geneva, a city that was quite close from Paris but he has never visited before. We spent few hours going around the city and shared stories of our lives. We talked about family, music, works and other light topics. It was quite fun.

However, one thing that surprised me until now was how we communicated each other. He did not speak English very well and the only French I could understand was only “Mon Cheri” (English: my darling), which apparently happened to be the name of my favorite chocolates (best one ever!). We often had to use a gesture, or specific facial expression or specific tone to tell something. It was very funny. Sometimes the pronunciation was quite a challenge that we hardly understand of one simple word. It took me few minutes to understand “vesion” to be actually “vacation” and how I described him “Purchasing” by using money ;-)


After few hours, we separated at train station, where I had to continue my trip to other city. We said goodbye with a promise to keep contact through email address that he gave me and of which was unfortunately lost somewhere in my backpack.

The communication that we had may not be the perfect one (for sure!), but still it surprised me how we succesffuly found ways to get each other understand what we were trying to convey. Probably it was because we have realized since the beginning that we were different in many ways, except the mutual happiness to have found a friend to spend that day with. That understanding eventually guided our communication each other and brought us a taste of fun at far-from-home place.

Lost in translation? Siapa takut! ;-)

Sunday, March 21, 2010

Cooking? not really my cup of tea.. ;-)


Aku suka bingung tapi di saat yang bersamaan juga salut dengan mereka, pria ataupun wanita, yang gemar sekali (dan jagoan) memasak. Mulai dari hanya sebatas nyeplok telur sampai dengan menghasilkan suatu crème brulee, dan mereka sangat menikmati setiap detik dari setiap detail prosesnya.

Seorang teman pernah bilang bahwa kadang untuk menghasilkan suatu karya kita perlu yang namanya passion ataupun mimpi. Salah satu syarat lain adalah kita mesti menyukai hasil akhir karya tersebut. Jadi kalau mau gemar dan jago masak (gemar dan jago bisa jadi dua hal yang berbeda lho), sesorang haruslah doyan makan(an). Wah, kalau begitu aku sudah pasti ngga bakalan pernah jago memasak, karena buatku makan hanyalah sekedar memenuhi kewajiban sebagai mahluk hidup. Atau kadang aku hanya menikmati suasana dalam acara makan tersebut, entah itu sedang kumpul bersama teman atau keluarga. Penasaran akan suatu makanan sudah pasti sering, tapi tidak sampai menjadikan saya seorang self-driven untuk berkeliling mencoba berbagai makanan.

Tapi bukan berarti aku ngga pernah coba yang namanya masak. Waktu aku SMP, aku mencoba suatu resep di majalah. Kalau ngga salah, Soto Kediri (atau Banjar? lupa) namanya. Aku mengikuti dengan patuh setiap takaran dan cara memasaknya. Setelah beberapa jam berlalu dengan dapur yang porak poranda, voilaaaa… akhirnya masakan itupun jadi dan begitu kucicipi, hmmmm… rasanya berubah menjadi opor! Jangan tanya, karena aku juga ngga ngerti, bahkan sampai sekarang!

Papaku seorang yang jago masak. Beliau tidak pernah sekalipun menggunakan buku resep, pun kalau ada suatu yang sifatnya berbentuk ”teori”, itu adalah hasil ingatannya akan warisan eyang yang sering mengajarkannya masak waktu kecil. Papa selalu berimprovisasi dengan segala bumbu dapur. Cemplungin – icipin – cemplungin lagi – icipin lagi... teruuuss begitu sampai didapat rasa yang pas.

Papaku sepertinya suatu bentuk pengecualian dari teori temenku tadi. Seingetku Papa rasanya ngga begitu terobsesi dengan yang namanya makanan. Biasa aja. Eh tapi tanteku pernah cerita kalau Papa waktu muda gemar banget makan enak. Ya iyalah, mana ada yang suka makan makanan yang ngga enak. Bermula dari aku kuliah sampai dengan aku kerja, papa selalu masakin aku bekel untuk makan siang. Setiap pagi lunch box ku sudah siap di meja makan, tinggal angkut. Satu set makan siang lengkap dengan kerupuk dan buah.

Kalau papa yang ”biasa” aja terhadap makanan, beda banget dengan sepupuku ini. Makanan seolah menjadi the biggest passion in her life! She can live with nothing but cooking! Hahaha… ngga segitunya sih sampai “can live without nothing”, tapi kecintaannya terhadap masak benar-benar membuatku mengacungkan semua jempol yang kupunya.

Kalau hari minggu siang, aku biasanya mengisi waktu dengan leyeh-leyeh, nonton dvd, tidur, pokoknya menjadi manusia yang paling tidak berguna di dunia, dia malahan sibuk sekali mencoba resep ini dan itu. Dan sepupuku ini tepat sekali dengan teori temenku tadi. Ia menyukai masak dan ia juga sangat tergila-gila dengan makanan. Ia tahu tempat-tempat makanan enak, mulai tukang lontong sayur di terminal Kampung Melayu sampai dengan mbok-mbok yang jual tengkleng di gerbang Pasar Klewer Solo. Baginya, setetes rasa dalam setiap makanan adalah penting! Buatku, lemper ayam dimanapun sama aja, yang bedain cuma apakah ayamnya banyak atau ngga, tapi buat sepupu ku ini, rasa gurih ketannya, bumbu adonan ayamnya sampai aroma dari bakaran daun pisang pembungkus lemper sangat diperhatikan. Buatku, sop yang dipanasin sama ngga itu ngga ada bedanya, tapi dia akan sangat willing untuk repot manasin dulu sebelum makan. Beruntung sekali bisa memiliki sepupu sepertinya, dijamin akan selalu makan enak dan ngga repot! Hehe…

Anyway, inti dari cerita ini, aku salut banget sama mereka yang memiliki passion. Apapun bentuknya. Tidak hanya sekedar memiliki, tapi melakoni dan mendalaminya dengan serius. Bagus-bagus kalau akhirnya bisa menjadikan itu menjadi suatu bisnis yang mendatangkan penghasilan. Seorang teman bilang bahwa ”nothing is a waste if you do it with passion.” It keeps you going.

Namun, aku juga tak kaluh salut dengan mereka yang melakukan sesuatu dengan baik, walaupun itu bukan passion mereka, dan dilakukan karena memang mereka harus lakukan itu. Contohnya Papaku. Kalau beliau ngga masak, aku dan kakakku pasti akan selalu jadi anak warung alias jajan di luar rumah terus. Apakah itu mendatangkan kebahagiaan– dilakukan karena keharusan? Sering dengan melihat bahwa apa yang kita kerjakan mendatangkan suatu manfaat (syukur-syukur kebahagiaan) buat orang lain, memberikan suatu kebahagian yang tak terkira untuk kita. Betul tak?

Awalnya Papa mungkin memasak karena suatu kewajiban, tapi aku yakin rasa sayang pada dua anaknya yang badung ini telah menumbuhkan suatu passion lain, yaitu memberikan yang terbaik kepada yang kita sayangi...

So, let your passion drives you to reach your dream, but in my case, cooking is definately not the one :-)