Saturday, May 4, 2013

Mahalnya pelajaran ini.

Peristiwa ini terjadi di Mei 2011, ketika saya dan ketiga teman melakukan perjalanan backpacking selama kurang lebih 18 hari di Eropa. Total kami berempat, perempuan semua - Indah, Dewi, Olivia/Olip dan saya.

Ceritanya mungkin ngga penting-penting amat sih, cuma buat saya (dan mungkin ketiga teman saya) jadi sepenggal cerita yang jika diingat, dibaca dan dibahas hingga hari ini bisa bikin senyum-senyum sendiri.

Dari kiri: Indah, saya, Dewi dan Olip (Prague, Czech)

So here is the story. Setting nya adalah di bandara Orli, Paris.

Jadwal penerbangan kami (Paris - KL) adalah pukul 10:30 menggunakan salah satu budget airlines di Asia. Malam sebelumnya kami sudah melakukan web check in, jadi besoknya di bandara kami hanya lakukan drop baggage saja, which is timeline-nya max 45 menit sebelum departure.

Begitu sampai bandara, sekitar jam 9:20 (iyaaa... I knooooww, ini udah injury time banget, definitely our bad!), kami memutuskan berpencar jadi dua. Saya dan Dewi mengurus wrapping tas, sedangkan Indah dan Olip bergerilya cari check in desk. Pukul 9.45, Indah dan Olip menghampiri saya, bilang check in desk nya udah tutup dan sebelumnya mereka di pingpong sana sini sama petugas airline. Kepanikan mulai muncul.

Akhirnya kami berendeng2 dengan dua troli dan backpack sebesar batu menhir Obelix, berkeliling mencari petugas bandara, yang bisa membantu (karena meja check in sudah bersih, tidak ada orang). Kami bertemu 3 orang petugas yang berbeda dan 3 kali pula kita mengulang cerita (cape deee...) padahal petugas yang 1 dan 2 masih ada di situ...hiks! Mereka tidak bisa beri solusi sampai akhirnya kami berkeras untuk bertemu kepala bandara (esmosi jiwa nih abis dipingpong). Akhirnya bertemulah kami dengan si madam (hehe..ngulang lagi deh cerita kronologis kejadian). Si madam kemudian telpon ground manager dari si airline, yang berjanji akan menemui kita dalam 30 menit (yang berarti setelah pesawat take off!). Wah, kami keukeuh jumekeuh banget protes keberatan. Kami berkeras kalau tidak salah, satu jam di awal kami udah tiba di check-in desk tapi dipingpong, sedangkan waktu tetap berjalan. Mulai dari bicara dengan nada sabar manis, sampai akhir nya menggunakan nada doremi tinggi, tetep lho tidak diijinkan masuk. Akhirnya bye-bye deh sama pesawat dan tiket hangus dengan sukses.



Munich, Germany
Ketika akhirnya bertemu Ground Manager, ia pun hanya say sorry tapi tidak beri solusi apapun, selain berjanji membantu mendapatkan seat di flight 2 hari kemudian (dan kita tetap diminta membayar selisih harga tiket). Kami berempat sepakat tidak mau. No matter what, kami harus pulang hari itu juga (dengan alasan masing-masing: cuti habis, ada jadwal business trip, visa mau habis dll)

Lemas, bingung, kesal, sedih, marah, kecewa (plus lapar!) menumpuk jadi satu. Tapi kemudian kami sadar, we have to do something, find solution. Kami langsung bergerak. "Ayo kita cari airline yg lain!" Caranya?? Orli adalah bandara, dimana sebagian besar (jika tidak seluruhnya) penerbangan adalah budget airlines, tidak ada lagi flight yang ke Jakarta/Asia, selain airline yang sama dengan tiket kami yang hangus, dan itupun baru akan ada jadwal terbang dua hari kemudian. Kami tidak menemukan sales office untuk commercial airlines.

"Kita browsing! Keluarin laptop loe, Ndah... Ayo, kita cari wifi!" Akhirnya kami berputar di bandara mencari hotspot. Dapat! Browsing punya browsing ke beberapa web, ketemulah Emirates yang menawarkan harga paling murah dibanding yang lain, dan ada dua kali penerbangan dalam sehari. Namun untuk ini, kami harus pindah ke bandara utama, Charles de Gaulle, yang berjarak cukup jauh dari Orli. Langsung kami bagi tugas.

Dewi + Olip: mencari informasi bagaimana caranya ke bandara Charles de Gaulle, naik apa, ongkosnya berapa, optionnya apa saja, berapa lama perjalanan dll. Mulai dari tanya tukang sapu bandara sampai kasir McD, dapetlah info dengan lengkap. Mantab!

Indah: mencari ATM karena kami semua sudah tidak punya banyak uang tunai yang tersisa, untuk bayar taxi dll. Berhasilah menggenggam sekian Euro. Siiip!

Saya: browsing di web Emirates (dan beberapa airlines lain), cari apa masih ada seat yg available, pilihan kelas tiketnya apa aja, jam berapa flightnya, dll. (sekalian jagain tas dan troli).

Kami berpencar dan serentak dalam 10 menit berkumpul lagi, sharing semua info yang didapat dan akhirnya kita memutuskan naik taksi. Memang ongkosnya paling mahal, tapi paling cepat. Kami sudah ngga punya waktu lagi karena pesawat take off dalam 3 jam.

Keluar bandara Orli, terjadilah kehebohan yang ngga kalah seru dengan sebelumnya (what a day banget deh tuh hari). Inget film Home Alone 2? Hehe...mirip banget adegan kehebohan di bandara, saat rombongan keluarga Macalister berlarian menuju gate dan Kevin terpisah dengan keluarganya.

Saya dan Indah, bergegas mendorong troli, sementara Dewi dan Olip berjalan di depan troli, membuka jalan. Siang itu, bandara penuh sesak ibarat terminal kampung rambutan, sumpek banget dengan rombongan orang yang semua seakan bergegas mengejar pesawat. "Excuse me, sir...ups, sorry...sorry...excuse me, mam", kami berulang kali mengucapkan kalimat ini dengan cukup keras, berlomba dengan kebisingan bandara, sambil setengah berlari mendorong troli dan beberapa kali ngga sengaja menabrak kaki orang.

Ketika sampai di pintu utama....deng dong!! Kok ngga ada taksi?? Kemana tuh taksi?

"Biar gue lari ke ujung dulu, loe pada di sini aja jagain tas, biar ngga bolak balik, ntar kalo ketemu taksinya, gue kasih kode", kata Dewi. Tidak lama, Dewi berteriaklah dia dari ujung "peron" bandara "Taksinya adaaa!! Ayooo!" Kami setengah berlari mendorong troli menghampiri tempat antri taksi.

(Lagi-lagi, kami tidak pusing dengan tatapan aneh orang-orang....hahaha)

Kami memasukkan semua tas ke bagasi taksi yang mirip Picanto atau Karimun. Alhasil bagasi tidak cukup menampung bawaan kami berempat, dan kami mesti memangku backpack hingga nyaris membuat muka dan badan tenggelam di antara backpack yang besar. No problem, yang penting bisa masuk semua dan langsung ngeeeeeng, tancap gas!

Sejam kemudian, setibanya di Charles de Gaulle (bayar taksinya cukup EUR 80 sajah, pemirsa), kami menuju ticket sales counter Emirates dan voilaaa...no more seats available! Lemes selemes2nya!! Padahal di web masih ada seat. Dengan harapan tipis, kami coba ke KLM dan Air France, ada sih seatnya, tapi harganya bisa bikin mules kepala, USD4,000/orang! Itu harga one way lho. Kami langsung balik lagi ke Emirates, dengan muka memelas dan desperado (bukan acting neh, beneran putus asa banget), minta tolong mas petugas tiket untuk cek lagi. Mas itu sih bilang, sebenarnya rute Paris - Dubai masih ada 4 seat, tapi Dubai - Jkt yang ngga ada. Dia kutak katik dengan komputernya, dan kami bilang, just put us in any connecting flight to Jkt, even if we have to wait for hours in Dubai. Tidak lama dia bilang "Yes, we still have all 4 seats for all routes!!" Tebak apa yg terjadi kemudian? Kami berempat berteriak hore dan tepuk tangan di depan mas petugas tersebut, reflek aja! Hahaha...diliatin orang? bodo amat deh...kalau bisa peluk itu mas petugas, udah kita peluk deh saking senengnya ^_^v


Kaukenhof, Belanda

Akhirnya pulanglah kami dengan damainya, walaupun nyesek banget kalau inget tiket yg hangus, plus kita bayar tiket lagi yg muahalnya amit-amit jabang bebi! Tapi ya sudahlah ya, semua itu tertutup dengan rasa seneng karena bisa pulang... :-)

Begitulah, pelajaran berharga yang sangat mahal (literally!!), yang bikin saya pribadi sekarang lebih baik lebay nunggu lama di bandara, daripada resiko tertinggal pesawat dengan datang mepet waktu :-)