Saturday, June 26, 2010

Happiness is in the mind

Once upon the Saturday night, I have this chat with my dear cousin through bbm. It was initially a chat about a road trip to take in July, but it was flowing and then switched to a more serious topic. A nice food for thought thou..

".......continued..."

*Cousin: Wong yang haram itu pasti jauuuuuh lebih enak drpd yg halal kok :-)

*Me: Hahaha! Sok tahu ah.... tahu darimana kalau yg ga halal itu lebih enak?

*Cousin: Kumpul kebo itu lebih enak drpd kawin yg sah... :-D

*Me: Dodol!!

*Cousin: Lho saya mengemukakan realita ini...Coba bayangkan kalo harus hidup dengan org yg sama 40 thn atau lebih. Pusing kaaann... itu ngga akan terjadi kalau kumpul kebo, bisa gonta ganti org sewaktu2, apa ngga dahsyat tdk halal itu

*Me: Nah, coba sebaliknya, apa ga enak memiliki suatu kenyamanan, ketenangan dan komitmen yang "tergaransi" oleh suatu legalitas yg resmi, utk hidup dengan seseorang...halal pula! ;-)

*Cousin: Bayangkan kenyamanan yg hanya berumur 1-3th pertama, th ke 4 s/d th ke 40, terkekang dgn "garansi" legalitas yg bikin pening....hahaha...! Jangan di dengerin yak!

*Me: Hahaha...iya nih! Kalau org yg lg mau nikah, bisa2 ga jadi nikah kalau denger! Tapi apakah nikah itu jaminan kebahagiaan kah? "Kelengkapan" hidup". Kadang suka mikir apakah nikah itu sesuatu yg mesti utk menggenapi suatu tatanan dan harapan kultur sekitar? Gimana kalau orang memilih utk tidak menikah drpd terpaksa menyamakan standard thd harapan orang lain? (Ngomong apaan yah gue, hehe..." )

*Cousin: Naaah...pertanyaan yg sangat bagus dan kritis! Menurut gw, semua hal yg berbau kultural dan teologis bersifat "wajib" krn bila di simpangi akan ada sangsi sosialnya. Kalau gw, tembok aja gw tabrak, apalg kultur & teologi.... Jaminan kebahagiaan??? Kebahagiaan itu kita ciptakan dr cara berpikir kita dan bersifat kasuistik
Mau single atau dobel, dua2nya bisa membuat kita bahagia, kalau memang kita "ciptakan"

*Me: Yoi, kadang bahagia itu permainan pikiran dan keputusan yg kita bisa buat kapanpun dan dimana pun....


....and the chat continued and ended with nothing to discuss further about the trip :-)
Oh, fyi, my cousin is a deep thinker who happily and legally married to his wife.. so the chat was just for brainstorming purpose only *need to clarify this, before he kills me...haha..*

Beijing 1: Arriving in Tianjin

Ibaratnya seorang ibu yang mengandung 9 bulan, itu waktu yang sama buat saya dan teman saya, Indah F. Sari merencanakan perjalanan ke tiga negara dalam waktu hanya 9 hari. So here it is the several chapters of my stories to Beijing and Hanoi (and KL, for transit only). I certainly hope the information may help those of you who plan to go to Beijing and Hanoi.

Pagi itu kami memulai perjalanan dari LCCT, Kuala Lumpur. Jam menunjukkan pukul 6 pagi waktu kami melakukan self check in di mesin khusus yang disediakan oleh Air Asia. Ternyata flight delay selama satu jam. *sigh* Tau gitu kan ga perlu pagi-pagi banget bangunnyaa...hiks!

Perjalanan dari KL menuju Tianjin memakan waktu sekitar 6 jam, yang kami habiskan dengan tidur – balas dendam tidur semalam yang hanya 4 jam! Pesawat AirAsia X lumayan penuh.

Sekitar pukul 14.30 kami landing di Tianjin dengan perasaan excited banget. Yaaay! Finally! We landed in the land where there lies a sleeping giant who can move the world, according to Napoleon!

Beihai International Airport di Tianjin jauh dari perkiraan kami. Airport itu sangat modern dan benar-benar mencerminkan airport sekelas internasional. Antrian di imigrasi ternyata cukup panjang namun loket yang di buka cukup banyak sehingga kami hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit. Petugas imigrasi sangat teliti. Mereka bener-bener ”memelototi” muka kita saat menyamakan foto di paspor dengan ”produk aslinya”. Jika kebetulan mata kita lagi ”jalan-jalan” melihat sekeliling, mereka akan dengan galaknya memanggil ”Hello!! Hello, miss!!”.

Namun, satu hal yang paling indah di dengar pada saat kita di imigrasi, tidak peduli di negara manapun, adalah bunyi ”cetok...!!” saat stempel imigrasi dibenamkan di paspor kita! Mari silahkaaaannn....:-)

Karena tidak ada bagasi, kami langsung melenggang ke arah pintu keluar, namun toilet menjadi tempat singgah kami dulu. Salah satu enaknya travelling dengan teman adalah kita bisa gantian menjaga bagasi, jadi ngga perlu repot gedubrakan bawa tas atau koper ke dalam toilet. Ketika kami di depan toilet, seorang cewek yang sepertinya travelling sendirian menghampiri dan bertanya ”are you going to Beijing? How do you plan to go there? Can I come with you?”. Dan kami menjawab ”yes, we are going to Beijing by bullet train. Sure, you can come with us. Let’s go!”

Dan dia kemudian bertanya “Where are you from?”. Dan saat kita menjawab “Indonesia”, spontan dia tertawa dan bilang “Halaah, dari Indonesia juga ternyata”. Hahaha…orang sekampung ternyata!

Keluar dari airport Tianjin, hawa dingin langsung menerpa wajah kami. Suhu saat itu sekitar 22 derajat. Untungnya loket bis menuju stasiun tepat berada di depan pintu keluar airport. Ada loket dimana kami harus beli tiket seharga RMB10 (Rp 13,000) dan kami langsung naik bis. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit melewati jalan tol. Tidak banyak pemandangan kota Tianjin yang kami bisa nikmati selain bangunan-bangunan hotel, perkantoran, flat tempat tinggal. Namun beberapa pekerjaan konstruksi memperlihatkan geliat kota itu untuk bebenah menjadikan kota yang lebih modern. Beberapa bangunan dipengaruhi gaya eropa. Cina emang ga ada matinyee!
Kami agak bingung ketika sampai di stasiun Tianjin karena tidak ada halte atau tempat penurunan resmi. Kami berjalan mengikuti arus orang-orang menuju suatu bangunan besar dan modern, yang ternyata stasiun!


Sampai di dalam stasiun, kami bingung lagi karena semua tulisan di papan menggunakan huruf cina. Haiyaa! Pegimana ceritanya ini?? Makin bingung karena petugas loket sangat terbatas bahasa Inggrisnya. Tapi setelah berakrobat dengan bahasa tarsan, akhirnya kami bisa mendapatkan tiket seharga RMB56 (Rp72,000) untuk sekali jalan ke Beijing. Kereta akan berangkat jam 5, berarti masih satu jam lagi. Kami naik ke lantai dua dan cukup takjub dengan ruang tunggunya yang cukup besar dan ada beberapa gate untuk boarding ke kereta. Sambil menunggu waktu boarding, kami foto-foto dan tidak menyadari bahwa tiket saya jatuh dan secepat jatuhnya, secepat itu pula tiket itu hilang dan secepat itu pula kami dikelilingi oleh para janitors yg berbicara dalam bahasa lokal dan sepertinya menawarkan jasa mencari tiket itu asal kami membayar mereka. Ah, daripada bayar mereka, mendingan saya beli tiket baru. Apes!


Bullet trainnya bagus sekali! Sekitar 30 menit kemudian kami tiba di South Beijing Railway Station. Setelah mampir ke toko buku untuk membeli peta Beijing dan jalur subway, kami membeli tiket subway RM2 (Rp 2,600) dan turun di stasiun Beijing Railway Station dan untungnya hotel kami (Howard Johnson Paragon Hotel) hanya berjarak sekian meter dari stasiun. Malam harinya kami menghabiskan waktu dengan berjalan sekitar hotel dan hingga jam 11 malam ternyata di jalan masih banyak sekali orang-orang, yang menjadi gambaran kecil betapa banyaknya penduduk di China ini!

To be continued with more stories of my journey in China separately.... depending on the writer's mood to write :-)
Bener lho... nulis itu tergantung sama mood - well, at least for me :-)