Venice menjadi gerbang pertama perjalanan saya memasuki Itali. Kalau sebelumnya saya sempat share gimana juara nya Roma dalam hal peninggalan budaya berabad-abad lalu, maka Venice menawarkan hal yang cukup berbeda.
Saya masuk Venice dengan kereta dari Salzburg dan tiba sekitar pukul 5 sore. Matahari masih terang seperti pukul 3 sore dan udara terasa sejuk, tidak sedingin di Salzburg tapi tidak terik panas juga. Jadi enak lah. Begitu kereta mendekati stasiun Santa Lucia, pengumuman di dalam kereta sudah mulai menggunakan Bahasa Itali disamping Bahasa Inggris tentunya (sebelumnya adalah Bahasa Jerman dan Inggris)
Begitu landing di stasiun, mata kami semua berbinar. Bukan karena pemandangan bagunan stasiun, bukan karena keindahan kota, tapi karena satu keindahan yang berseliweran di depan mata. Yeap! Cowok-cowok Itali yang merupakan mahluk Tuhan yang paling indah, hilir mudik di depan mata. Sumpah ya, bo...mulai dari mas-mas cleaning service, penjaga kios rokok sampai yang benar-benar gaya eksekutif muda, semuaaaa berpotensi minimal sebagai foto model di majalah atau berseliweran di panggung catwalk dunia! Saya sempat berpikir mungkin dulu saat Tuhan menciptakan kaum pria, Ia menambahkan satu racikan bumbu pada adonan pria Itali sehingga menghasilkan suatu maha karya yang sangat indah. Oooh.... :-)
Begitu tiba di luar stasiun, terpampang sungai /kanal yang cukup besar dengan aktivitas di dermaga yang cukup sibuk. Ternyata itu adalah semacam halte dari water boat yang menjadi urat nadi transportasi di Venice. Kota dengan penduduk sekitar 200 ribuan ini sebagian besar wilayahnya memang terdiri dari air dan bangunan pun didirikan di atas air. Jika dilihat di peta, Venice terletak dalam pulau yang menyerupai pecahan kaca yang berserakan, tidak heran begitu banyak kanal yang membelah kota ini.
Hostel Allogi Geroto Calderan terletak di Lista di Spagna - salah satu jalan utama- dan di pojokan suatu square yang besar Campo San Geremia. Lokasi yang sangat strategis dan harga yang terjangkau EUR28 per orang untuk kamar kapasitas 4 orang.
Rialto Bridge dan George Clooney (?)
Setelah berganti sandal yang nyaman, menenteng jaket dan kamera, kami memulai gerilya kami. Tujuan pertama adalah Rialto Bridge. Lagi-lagi perjalanan ini banyak terganggu oleh deretan toko-toko di sepanjang jalan. Jalanan di Venice didominasi dengan paving block (mungkin semua jalanan) dan hanya dilewati oleh motor, sangat nyaman untuk pejalan kaki. Jalanan ini diapit oleh bangunan-bangunan tinggi yang sepertinya flat tempat tinggal, dengan lantai paling bawah dimanfaatkan sebagai toko. Deretan bangunan ini di beberapa titik dipisahkan oleh kanal sehingga jembatan-jembatan yang terbuat dari batu banyak sekali tersebar. Saya sempat berpikir, kok ngga ada anak-anak sekolah atau karyawan yang baru pulang kerja (saat itu adalah normalnya jam pulang kerja) dan kenapa sepanjang mata memandang hanya ada dua jenis manusia di sana, turis seperti kami dan penduduk lokal yang berjualan. Yang lain kemana?
Balik lagi ke Rialto Bridge. Mencari jembatan yang sangat tersohor sebagai "the true heart of Venice" tidak sulit. Di sepanjang jalan akan terpampang papan dengan anak panah "Rialto", tinggal ikuti tanda panah maka anda akan tiba di jembatan batu yang megah tersebut. Jembatan Rialto membelah kanal utama di Venice yang dikenal dengan Grand Cannal. Di sisi kiri dan kanan banyak berderet kafe dan gondola yang terpakir.
Saat kami tiba di sana sudah gelap dan kafe mulai ramai oleh pengunjung. Dengan view ke arah Jembatan Rialto dan gemerlapnya sisi kanal, kafe-kafe tersebut menawaran suasana romantis apalagi ditambah alunan biola yang secara live dimainkan. Kalau sudah begitu, saya hanya bisa berimajinasi berada dalam sebuah candle light dinner di pinggir kanal dengan iringan musik dari biola yang mendayu dan dengan seorang George Clooney di hadapan saya yang tersenyum manis menatap saya sangat dalam dengan matanya yang jenaka. "Ucrid!!! Ngapain loe senyum-senyum sendiri di situ! Ayo kita naik ke atas jembatan!!". Teriakan teman saya membuyarkan lamunan indah saya. Saya pun bergegas menyusul teman-teman saya. *sigh*
Malam itu kami habiskan dengan gentayangan di daerah seputar Rialto Bridge. Saya sempat ngiler dengan sepatu booth kulit yang terpajang di etalase toko yang sudah tutup. Kebanyakan toko di sini tutup sekitar pukul 7-8 malam kecuali kafe dan beberapa kios suvenir di pinggir jalan. Tapi lagi-lagi terbentur oleh pikiran "Gimana bawanya?". Salah satu ngga enaknya travel ala backpacking adalah keterbatasan tempat untuk bisa beli ini itu karena space yang terbatas di tas dan rute yang masih cukup panjang, tapi mungkin ini jadi salah satu berkah karena akhirnya kita ngga boros (tapi tetep lho saya masih kepikiran itu sepatu sampai sekarang!). Di beberapa titik kita bisa menemukan pengamen dengan alat musik mereka seperti biola, gitar, menambah suasana romantis kota itu.
Niat untuk mencoba gondola pun sontak kami batalkan mengingat harganya yang mencekik yaitu EUR 100. Kami cukup puas dengan berfoto dengan mas-mas pengayuh dengan seragam khas garis-garisnya itu. Sayang kami tidak berhasil membuat mereka menyanyi yang konon para pengayuh gondola memiliki suara indah ;-)
Kami mencoba pizza di salah satu kafe dimana banyak pengunjungnya memanfaatkan TV yang ada untuk nonton bola bersama. Cukup seru, entah siapa yang sedang tanding saat itu, tapi nikmatnya pizza seharga EUR 2 itu tidak membuat saya berpaling. Oiya, sorenya saya sempat mencicipi gelato yang merupakan cita-cita luhur saya jika menjejakkan kaki di tanah Itali ini. Simak ceritanya di "Gelato never dies".
Esok paginya, kami memulai petualangan di pagi hari. Tujuan hari itu adalah ke Piazza San Marco. Berbekal peta dan tanya-tanya, kami menuju ke halte water bus di depan stasiun Santa Lucia. Harga tiket cukup membuat miris hati EUR 6 (Rp 72,000) untuk sekali jalan. Setelah mengantri bersama dengan orang-orang yang umumnye berangkat kerja, kami tiba di Piazza San Marco sekitar 45 menit kemudian. Water bus itu seperti layaknya bus umum di darat, mampir ke beberapa halte yang dibangun di atas air, jadi mengambang.
Tiba di Piazza San Marco, kami disambut oleh antrian ular naga panjangnya. Mereka mengantri dengan tertib untuk masuk ke gereja basilika St. Mark. Gereja dengan bangunan eksterior yang sangat unik dan megah, yang pasti di dalamnya pun menawarkan design yang tak kalah uniknya. Sayang karena waktu yang terbatas, kami memilih untuk menikmati dari luar saja bersama dengan burung-burung dara. Dengan sisa cookies yang kami beli sehari sebelumnya, kami meremas cookies itu di telapak tangan dan membentangkan ke atas. Hanya dalam hitungan detik berpuluh-puluh burung dara menghampiri dan mematuk-matuk remahan itu dari tangan kami. Wuaaaa...seruuuu...!! Kami berempat heboh sendiri dan alhasil kegiatan itu diikuti oleh turis-turis lainnya yang awalnya hanya tertarik melihat kenorakan kami :-)
Beberapa saat kemudian kami nikmati dengan duduk-duduk di tengah lapangan yang besaaaar itu, mencoba meresapi pengalaman ini. Udara cukup sejuk pagi itu dengan sinar hangat matahari. Walaupun suasana sudah mulai ramai pengunjung, tapi masih termasuk nyaman. Beberapa kios suvenir tersebar di beberapa sudut. Barang yang ditawarkan umumnya adalah kaos, syal, topi, snow ball, topeng khas Venice, dll.
Water taxi dengan rate Rp 720,000!!
Tidak sadar, waktu semakin siang dan kami tidak sadar jam yang terus bergulir. Ketika waktu sudah mepet, kami terlambat menyadari kalau tidak akan cukup waktu untuk kembali ke hotel dan mengejar kereta, dengan water bus seperti saat berangkat. Akhirnya tawar menawar dengan water taxi, kami memutuskan untuk menggunakan taxi ini. Cukup miris harganya yaitu EUR 60 untuk perjalanan sekitar 20 menit. Taxi ini semacam speed boat yang cukup nyaman dengan semi-sofa di bagian penumpang yang beratap. Tidak sabar dengan santainya bapak supir, kami beranjak berdiri di anjungan kemudi, dan memohon agar mempercepat laju. Tapi perjalanan di kanal-kanal yang sempit rupanya tidak mudah, belum lagi jika berpapasan dengan boat yang lain, maka kadang salah satu harus ada yang mengalah untuk mundur. Aaaahh....kamipun semakin stres karena waktu kiat mepet.
Tidak sadar, waktu semakin siang dan kami tidak sadar jam yang terus bergulir. Ketika waktu sudah mepet, kami terlambat menyadari kalau tidak akan cukup waktu untuk kembali ke hotel dan mengejar kereta, dengan water bus seperti saat berangkat. Akhirnya tawar menawar dengan water taxi, kami memutuskan untuk menggunakan taxi ini. Cukup miris harganya yaitu EUR 60 untuk perjalanan sekitar 20 menit. Taxi ini semacam speed boat yang cukup nyaman dengan semi-sofa di bagian penumpang yang beratap. Tidak sabar dengan santainya bapak supir, kami beranjak berdiri di anjungan kemudi, dan memohon agar mempercepat laju. Tapi perjalanan di kanal-kanal yang sempit rupanya tidak mudah, belum lagi jika berpapasan dengan boat yang lain, maka kadang salah satu harus ada yang mengalah untuk mundur. Aaaahh....kamipun semakin stres karena waktu kiat mepet.
What a day!
Perjalanan kami selanjutnya adalah ke Roma. Simak ceritanya di link ini: The great ancient Rome
No comments:
Post a Comment