Bayangan saya ternyata tidak jauh meleset. Pemandangan seperti itu yang saya jumpai dalam kunjungan backpacking ke negara ini Desember 2013. Bersama sekitar 10 teman lainnya, kami mendarat di Siam Reap International Aiport untuk memulai kunjungan ke dua kota di Kamboja, yaitu Siam Reap dan Phnom Penh. Namun dengan kesederhanaan infrastruktur, ternyata Kamboja memberikan saya suatu hal yang sangat menyentuh dan mengubah pandangan saya tentang rakyat Kamboja.
Siem Reap
Ya sudahlah ya, semua orang mungkin sudah tahu kalau bintangnya kota ini adalah Angkor Wat (artinya Kuil Kota). Candi yang dibangun selama 30 tahun pada pertengahan abad 12 dipercaya merupakan tempat tinggal dewa-dewi Hindu (30 tahun, man!...masih jagoan candi Lara Jonggrang kita yang dibangun hanya satu malam!). Well, I'm not gonna tell you the detail history of Angkor Wat....the wikipedia is just a click away! :-)
Saat masuk ke dalam candi, kita dapat menemukan beberapa persembahan bunga-bunga, dupa, hio dll yang diletakkan di depan sebuah arca. Beberapa bagian candi sedang dalam proses pemugaran dan diberi palang penutup demi keamanan pengunjung. Layaknya sebuah candi, bagian dalam Angkor Wat juga terdiri atas lorong-lorong dengan dinding batu yang mengapit dan bagian tengah yang cukup luas (mungkin tempat duduk-duduk para dewa jaman itu).
Jika fotografi adalah hobi kamu, you certainly don't want to miss the chance of chasing the sunrise. Pagi itu sekitar jam 3 pagi, saya dan teman-teman dengan menggunakan jasa tuktuk (becak motor) berangkat ke Angkor Wat yang terletak sekitar 5.5 km dari pusat kota, untuk mengejar sunrise di balik puncak candi Angkor. Langit masih gelap dan udara pagi terasa begitu dingin. Ketika tiba di lokasi, pastikan kamu segera mengambil posisi strategis di sebuah lapangan, di sisi sebuah kolam / empang, yang menghadap candi. Matahari akan terbit tepat di balik stupa candi. Sayangnya, saat saya ke sana, cuaca lagi mendung dan berawan, sehingga matahari terbit tidak seindah bayangan saya.
Ratusan orang dengan perlengkapan kamera akan saling berlomba mendapatkan posisi yang strategis. |
Tutktuk sebagai salah satu pilihan moda transportasi berkeliling Angkor |
Dengan tuktuk yang sama, saya berkeliling di komplek Angkor, yang konon menurut cerita, dapat selesai dikelilingi dalam waktu 2 minggu! Namun berkeliling Angkor cukup menyenangkan dengan beberapa spot foto yang apik di antara kemegahan candi-candinya. Beberapa patung peninggalan jaman dahulu masih gagah berdiri, walaupun beberapa nampak dalam proses rekonstruksi. Ada yang bagian tubuhnya rusak namun ditambal dengan material yang menyerupai aslinya walaupun kalau diperhatikan terlihat bedanya. Jarak antara komplek candi lumayan jauh, jadi menggunakan tuktuk adalah pilihan yang tepat. Kita juga dapat menemui beberapa penduduk yang memainkan alat musik tradisional dan beberapa pengunjung memberikan uang sebagai bentuk apresiasi. Mereka ini memiliki cacat fisik akibat perang di Kamboja di masa lalu. Umumnya mereka cacat akibat terkena ranjau darat.
Jangan lewatkan berfoto dengan akar pohon raksasa yang menembus bangunan, yang menjadi signature dari Angkor |
Selain Angkor, berkeliling di kota Siem Reap juga tak kalah menyenangkan. Kota ini memiliki bangunan tua kolonial dan arsitektur China. Walaupun udaranya cukup berdebu dan matahari terik, namun angin bertiup cukup sejuk. Jika budaya adalah minat kamu, jangan lewatkan kunjungan ke Angkor National Museum. Sebuah taman dengan replika candi atau rumah adat tradisional Kamboja, mirip dengan TMII versi yang lebih mini. Sayang tempat ini agak kurang terawat, rumput-rumput liar tumbuh cukup tinggi dan tidak teratur. Yang menarik untuk saya adalah menyaksikan pertunjukan tarian rakyat atau upacara adat yang ditampilkan dalam auditorium ber-AC yang cukup nyaman (membuat saya dan sebagian teman-teman sukses tertidur). Tarif masuk cukup mahal yaitu USD30 per orang.
Kemanapun saya berpergian, saya selalu suka dengan yang namanya pasar tradisional. Entah itu pasar malam, pasar rakyat, pasar sayur, semua saya suka. Ada sesuatu yang unik yang ditawarkan oleh pasar. Kita bisa melihat kegiatan masyarakat lokal dengan sebenarnya, berinteraksi dengan mereka, mencicipi jajanan lokal yang unik, mendapatkan begitu banyak obyek foto yang lucu-lucu. Saya dan teman-teman mengunjungi pasar malam atau night market, yang umumnya menjual berbagai macam souvenir tradisional dengan harga miring, seperti satu buah selendang cantik dipatok USD 1-4. Ada sesuatu yang unik di night market ini. Di tengah pasar ini, ada sebuah pertunjukan nyanyi dan tari yang diperankan oleh waria dan amazingly, they dressed up even more beautiful than the women! Mereka mengenakan beraneka kostum, melenggak-lenggok layaknya penyanyi dan penari profesional di atas panggung. Pengunjung dapat menyaksikan hiburan ini sembari pijat refleksi di area depan panggung. Sangat menarik!
Phnom Penh
Saya pribadi sebenarnya agak enggan untuk bercerita tentang perjalanan saya ke beberapa tempat di ibukota Kamboja ini, namun apa yang saya rasakan dan pikirkan saat berada di tempat-tempat tersebut membuat saya begitu kagum atas rakyat Kamboja, kagum atas kemampuan mereka untuk memaafkan, menerima dan melanjutkan hidup, tanpa melihat luka di masa lalu (walaunpun pasti masih ada beberapa orang yang sulit untuk melakukan ini, dan itu sangat manusiawi).
Tempat yang pertama saya datangi adalah Choeung Ek Genocidal Center atau yang juga dikenal sebagai the killing field. Tempat ini dulunya adalah sebuah sekolah yang menjadi tempat pembantaian penduduk kamboja saat rejim Khmer Merah berkuasa. Lebih dari 14,000 orang disiksa dan dibunuh dengan cara yang sangat keji, menggunakan alat dan cara sangat tidak berprikemanusiaan – saya tidak kuasa mendeskripsikan dalam tulisan ini cerita-cerita yang saya dapatkan dari tempat tersebut. Salah satu rekaman audio dari saksi hidup menyebutkan hal yang paling menyakitkan adalah bahwa mereka dibunuh oleh saudara sebangsa sendiri, untuk alasan yang mereka tidak tahu.
Aura kekelaman dan kesedihan masih sangat terasa ketika kita memasuki tempat ini. Setiap sudut diberi tanda untuk proses pembantaian yang terjadi, misalnya di bagian ini adalah tempat dimana truk menurunkan orang-orang yang dirampas dari beberapa desa dan akan segera dibunuh, atau lubang besar dimana mayat-mayat dihempaskan dan ditimbun jadi satu, setelah disiram oleh pestisida agar jenazah cepat hancur (bahkan ada yang masih setengah hidup, namun dibuang jadi satu dengan mayat tersebut). Ada juga tempat untuk penyimpanan alat-alat untuk membunuh seperti linggis, pacul, dll. Mereka tidak menggunakan senapan berpeluru. Jadi terbayang seperti apa rasanya disiksa perlahan hingga meninggal.
Saat pemerintah baru (setelah menggulingkan rejim Khmer Merah) menggali lubang pembuangan jenazah, mereka mengumpulkan tulang-tulang termasuk tengkorak, pakaian yang dikenakan dll. Semua tersimpan dalam suatu lemari kaca bertingkat. Jika kita perhatikan seksama dari tengkorak tersebut, maka kita bisa melihat beberapa tempurung yang pecah atau bolong, menandakan penyiksaan yang mereka alami. Juga kain atau baju dengan noda gelap, bekas darah yang mengering.
Rak tempat tengkorak korban pembunuhan disimpan dan diabadikan |
Ada satu cerita yang sangat menyayat hati saya. Jika kita berpikir bahwa hanya kaum pria yang dibunuh seperti umumnya saat perang berlangsung, maka kita salah besar. Mereka pun membunuh bayi-bayi tak berdosa dengan cara memegang kedua kakinya, mengayun dan menghempaskan bagian kepala ke sebuah pohon hingga isi kepala bayi pecah berhamburan. Pohon ini masih berdiri hingga kini, menjadi saksi bisu dari kebiadaban mereka yang menyebut dirinya manusia.
Pohon dimana bayi-bayi tak berdosa diayun dan dihempaskan ke pohon tersebut hingga isi kepala mereka berhamburan/ |
Oiya, ketika datang, di gerbang masuk tempat ini, kita akan dibekali sebuah alat rekam yang dapat kita atur tombolnya untuk mendengarkan beberapa cerita mengenai tempat tersebut sambil kita berjalan. Selain itu, ada juga rekaman kesaksian orang-orang yang berjuang menyelamatkan diri atau menyaksikan segala kekejaman rejim tersebut. Mereka yang umumnya dibunuh adalah para kaum intelektual yang dianggap membahayakan bagi pemerintah.
Saya memutuskan duduk di salah satu bangku dengan perasaan haru luar biasa, mendengarkan kesaksian mereka, bagaimana mereka melihat keluarga mereka disiksa dan dibunuh, atau bahkan mereka sendiri yang lolos dari kejaran tentara. Suatu luka batin atau trauma yang sangat dalam dan membutuhkan suatu kekuatan luar biasa, kebesaran hati yang sangat kuat untuk dapat memaafkan, menerima dan kemudian melanjutkan hidup. Terlebih peristiwa ini terjadi di tahun 1975 - 1979, yang relatif masih 'baru' dimana beberapa dari mereka masih hidup saat ini dan bercerita pada anak cucu mereka, tentang pengalaman pahit itu tentunya masih lekat dalam benak mereka.
Saat teman-teman saya memutuskan untuk menyudahi pengalaman
yang mengharu biru tersebut dan mengunjungi Grand Palace, saya dan Indah
(my forever travel-buddy) justru dengan mantap memisahkan diri dari rombongan dan mengunjungi satu tempat
yang tak kalah menyeramkan. Kami berdua begitu ingin mendapatkan cerita yang
lengkap, karena tempat kedua yang kunjungi, adalah penjara yang dibangun
sebagai tempat penyiksaan juga. Namanya adalah Tuol Sleng Genocide Museum.
Tempat ini terdiri dari dua bangunan bertingkat tiga yang
sekilas mirip seperti sekolahan, namun ruang kelas adalah ruang penjara dan
penyiksaan, yang tidak kalah sadisnya. Ah, menulis cerita ini sekarang membawa
saya pada perasaan dan ingatan akan tempat tersebut. Sungguh saya tidak habis pikir,
ada manusia yang sanggup menyiksa sesamanya sedemikian dahsyatnya seolah mereka
tidak punya hati nurani (atau memang tidak punya dan sudah mati).
Satu dari dua bangunan tempat penyiksaan. Satu bangunan terdiri dari sel-sel / kamar penyiksaan |
Dalam kamar-kamar penyiksaan tersebut, kita masih bisa
melihat tempat tidur, rantai, besi dll yang menjadi alat penyiksaan, bercak hitam di lantai dan
dinding yang konon adalah berkas darah akibat penyiksaan. Foto-foto di dinding
pun menambah bentuk gambaran yang terbentuk di pikiran kami semakin nyata.
Di ruang lain, terpasang ratusan foto mereka yang menjadi
korban, pria, wanita, bahkan anak-anak. Mereka mengenakan seragam khusus
sebelum difoto. Ada beberapa dengan ekspresi datar, kosong dan bahkan ada yang tersenyum. Mungkin
kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka, namun jadi akhir dari
penderitaan yang tak berkesudahan. Atau mungkin juga mereka belum tahu seperti
apa penyiksaan yang akan terjadi atas mereka. *sigh*
Saya dan Indah hanya berputar di satu gedung saja. Kami putuskan sudah cukup perjalanan yang mengiris hati. Kami melihat cukup banyak cerita penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi saat itu. Oiya, untuk masuk area ini, kita hanya perlu membaya USD 5 (kalau tidak salah ingat) dan dibekali dengan brosur singkat mengenai tempat tersebut.
Selanjutnya dengan menumpang tuktuk dengan tarif USD 4, kami pergi ke Grand Palace untuk menyusul teman-teman lain. Perjalanan dengan tuktuk melewati jalan raya di tengah kota cukup menyenangkan. Kami ditawari pemandangan kota yang jauh berbeda dengan Siam Reap (ya iyalah yaw, secara ini ibukota negara). Kota Phonm Penh cukup modern dengan bangunan-bangunan yang tertata apik, lalu lintas yang ramai, mobil-mobil keluaran terbaru, taman kota yang terperlihara dengan tanaman beraneka warna, beberapa tugu atau monumen sejarah dan lain-lain. Setibanya di Grand Palace, saya dan Indah lebih tertarik untuk berjalan kaki di sekitar istana. Menurut kami, istana dimanapun tidak akan jauh berbeda, namun buat kami lebih menarik melihat kegiatan masyarakat (dan turis) di taman (seperti alun-alun) di samping istana. Ada suatu taman luas dengan rumput yang hijau dimana beberapa keluarga atau pasangan menggelar alas duduk dan menggelar makanan atau membeli dari pedagang keliling. Cuaca yang mendukung untuk acara piknik ini. Saya dan Indah cukup seru dengan kegiatan kami sendiri yaitu....kejar-kejaran dengan burung merpati!! Hahaha...seru dan norak to the max pastinya. Biarlah....namanya juga liburan, sebelum kemudian kami asyik keluar masuk dari satu toko souvenir ke toko souvenir lainnya :p
Phnom Penh menjadi penutup perjalanan kami di Kamboja dan kemudian melanjutkan ke kota berikutnya Ho Chi Minh menggunakan bis (dan ferry).
Salah satu sudut pemandangan kota |
Selanjutnya dengan menumpang tuktuk dengan tarif USD 4, kami pergi ke Grand Palace untuk menyusul teman-teman lain. Perjalanan dengan tuktuk melewati jalan raya di tengah kota cukup menyenangkan. Kami ditawari pemandangan kota yang jauh berbeda dengan Siam Reap (ya iyalah yaw, secara ini ibukota negara). Kota Phonm Penh cukup modern dengan bangunan-bangunan yang tertata apik, lalu lintas yang ramai, mobil-mobil keluaran terbaru, taman kota yang terperlihara dengan tanaman beraneka warna, beberapa tugu atau monumen sejarah dan lain-lain. Setibanya di Grand Palace, saya dan Indah lebih tertarik untuk berjalan kaki di sekitar istana. Menurut kami, istana dimanapun tidak akan jauh berbeda, namun buat kami lebih menarik melihat kegiatan masyarakat (dan turis) di taman (seperti alun-alun) di samping istana. Ada suatu taman luas dengan rumput yang hijau dimana beberapa keluarga atau pasangan menggelar alas duduk dan menggelar makanan atau membeli dari pedagang keliling. Cuaca yang mendukung untuk acara piknik ini. Saya dan Indah cukup seru dengan kegiatan kami sendiri yaitu....kejar-kejaran dengan burung merpati!! Hahaha...seru dan norak to the max pastinya. Biarlah....namanya juga liburan, sebelum kemudian kami asyik keluar masuk dari satu toko souvenir ke toko souvenir lainnya :p
Phnom Penh menjadi penutup perjalanan kami di Kamboja dan kemudian melanjutkan ke kota berikutnya Ho Chi Minh menggunakan bis (dan ferry).
No comments:
Post a Comment