(tulisan ini katanya pernah dimuat di Nafiri, majalah bulanan di gereja saya, St. Arnoldus. Saya tulis "katanya" karena saya sendiri pas lagi bolos ke gereja saat Nafiri itu terbit, sampai seorang teman mengirimkan sms saya saat saya lagi asyik memilih buah di Carrefour. Cerita di bawah ini based on true story lho...hehe..ngga penting yah...)
Siang itu udara panas terik dengan angin sepoi-sepoi yang mengalunkan saya tidur atau tepatnya ketiduran ketika menonton sebuah infotainment di rumah. Tiba-tiba seorang teman datang dan dengan santainya mulai bercerita. Saya yang awalnya masih setengah sadar akibat ngantuk mulai “bangun” karena ceritanya.
Cerita teman saya tersebut bukan tentang gosip selebriti yang menggelar pernikahan dengan biaya yang bisa memberi makan ratusan orang atau sebuah berita tentang serunya sidang perceraian seorang penyanyi tersohor. Teman saya ini bercerita tentang seorang Sara, istri (nabi) Abraham! “Duh, hari gene kok ceritanya tentang seseorang yang notabene tidak up-to-date banget” pikir saya awalnya. Tapi kemudian saya mulai tergelitik oleh komentar teman saya itu “Bo, tahu ngga sih lo kalau Sara itu meremehkan Tuhan waktu Tuhan memberitahukan bahwa ia akan mengandung?” Waduh, mana saya tahu, kenal Sara saja tidak, pikir saya.
Kemudian berceritalah teman saya itu kalau pada saat Tuhan memberitakan kabar gembira bahwa Sara akhirnya akan mengandung, Sara tertawa dan menyangsikan perkataan Tuhan. Saat itu Sara yang berusia 90 tahun sudah menopause sedangkan Abraham sudah berumur seratus tahun. Hal yang wajar jika saya melihat dari kaca mata saya, kaca mata duniawi tentunya yang minus dan silindris dua, kaca mata seorang manusia yang mencari suatu pembenaran berdasarkan logika. Sara telah mengubur harapannya untuk memiliki anak sampai ia meminta Abraham untuk menikahi Hagar, pembantunya supaya Abraham memiliki keturunan. Sehingga ketika mendadak ada durian runtuh, Sara kaget dan tidak begitu saja percaya. Hal itu ia ungkapkan dengan tertawa yang membuat Tuhan murka “Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk Tuhan?” (Kejadian 18:14). Namun Sara tetap ngeyel dan menyangkal “Aku tidak tertawa” (Kejadian 18:15) karena ia takut.
Apa yang Sara lakukan berbeda dengan apa yang dilakukan Abraham, suaminya. Abraham tanpa banyak komentar mengurbankan Ishak anak satu-satunya ketika Allah memintanya. Ia tidak memprotes perintah Allah atau menawar kehendak-Nya. Hal yang sama ketika Nuh diperintahkan untuk membangun sebuah bahtera atau kapal dan mengisinya dengan begitu banyak penduduk sesuai order list dari Allah. Namun Nuh yang berusia 600 tahun tanpa banyak cing cong melakukan tepat yang diperintahkan Allah. Kalau saya jadi Nuh, so pasti akan banyak pertanyaan dan negosiasi dengan Allah. “udah tua ye, enakan juga santai daripada ngumpulin hewan-hewan, sepasang pula masing-masing, capeee dee…” celetuk teman saya itu.
Terus terang saya merasa tersindir oleh kesetiaan Abraham dan Nuh. Percakapan saya dengan Tuhan – yang tidak terlalu banyak – lebih banyak diwarnai tawar-menawar, pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting atau kecurigaan dibalik sebuah karunia Tuhan. Saat Tuhan memberikan kenaikan gaji yang cukup lumayan, saya berpikir, wah jangan-jangan Tuhan mau kasih saya beban tambahan nih. Ketika Tuhan menawarkan suatu promosi pekerjaan yang akan meminta waktu dan tenaga saya lebih banyak, saya meminta dispensasi untuk bisa membolos pergi misa setiap hari Minggu ”kan capek, Tuhan... boleh dong istirahat lebih banyak”.
Bayangkan kalau kita menjadi Tuhan. Mungkin Dia akan be-te, wong sudah dikasih karunia kok masih aja ngeyel, masih saja berusaha menawar atau Tuhan mungkin akan sangat kecewa saat kita curiga adanya motif dibalik suatu berkat yang Ia berikan. Padahal kalau kita mau lebih mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Tuhan memberikan berkat kepada umat-Nya tanpa syarat. Ia memberikan kita karunia bukan karena kerja keras kita, tapi semata-semata karena kasih karunia-Nya.
Ia memberikan berkatnya seturut kehendak-Nya, pada waktu-Nya, dan sesuai rancangan-Nya ”sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukan jalan-Ku” (Yesaya 55:8). Ada saat-saat dalam hidup kita dimana kita melihat kemalangan, kesedihan, kemarahan, ketidakberuntungan serta segala hal buruk yang di luar kehendak kita. Kita menjadi marah dengan Tuhan dan protes atas semua yang terjadi. Jika yang kita minta ke Tuhan tidak terjadi, bukan berarti ia menolak, namun karena itu bukanlah yang terbaik untuk kita. Seorang teman mengatakan ”Mungkin saja ya Jeng, yang kamu anggap baik untuk kamu itu ternyata bikin orang lain susah atau timingnya saja yang belum tepat”.
Sebenarnya yang perlu kita lakukan hanyalah percaya kepada-Nya. Percaya tanpa syarat, tanpa tawar menawar, tanpa curiga. Memang dibutuhkan suatu totalitas kepercayaan yang luar biasa, yang tidak memerlukan logika untuk mencernanya. Kita hanya perlu yakin bahwa Tuhan tidak pernah mendatangkan sesuatu yang buruk untuk umat-Nya. Ia mengasihi kita secara luar biasa hebatnya. Ingat bahwa Ia memberikan putra-Nya supaya kita semua diselamatkan?
So don’t put a question mark when God puts a period! Percaya saja!
(dam)
No comments:
Post a Comment